Siapa yang tak kenal dengan Kiai
Cholil Bangkalan? Beliau dikenal luas sebagai guru besar para ulama dan para
pengasuh pondok pesantren baik di Jawa maupun Madura. Karena itulah, beliau
mendapat gelar “Syaichona” yang kurang lebih berarti “guru kami”.sepeninggalnya
sampai saat ini belum ada ulama dari Madura yang mendapat gelar “Syaichona”.
Gelar Syaichona sudah menjadi laqab atau predikat khusus buat Kiai Cholil
Bangkalan. Karena itu, kalau orang Madura menyebut “Syaichona” berarti yang
dimaksud adalah Kiai Cholil Bangkalan.
Selain itu, beliau dikenal juga
sebagai seorang ulama yang produktif menulis risalah. Karya tulisnya baik yang
sudah diterbitkan atau masih dalam bentuk tulisan tangan (manuskrip) tersebar
di Madura. Dalam bidang fiqih, beliau menulis al-silah fi bayani al-nikah dan
al-matnu al-syarif. Dalam bidang
tata bahasa arab, beliau menulis naskah kitab Alfiyah. Lebih tepatnya,
menulis ulang 1000 bait kitab Alfiyah seraya mencantumkan penjelasan
pada bagian bawah di setiap baitnya dengan menggunakan bahasa Arab pegon.
Pada halaman tertentu, Kiai Cholil membuat catatan khusus di bagian kiri dari
manuskripnya.
Tulisan ini mencoba memotret jauh
Syaichona sebelum menjadi ulama hebat. Tepatnya ketika beliau masih menuntut
ilmu atau nyantri di beberapa pesantren di Jawa Timur, bagaimanakah akhlaqnya
ketika nyantri sehingga setelah boyong berhasil menjadi ulama yang begitu
melegenda?
Berkhidmat kepada guru
Ketika menuntut ilmu di sebuah
pesantren di Banyuangi, Kiai Cholil Bangkalan berkhidmat kepada gurunya dengan
menjadi seorang khadam atau pelayan. Layaknya seorang khadam, ia membantu
menangani pekerjaan rumah gurunya seperti menyapu, mencuci, mengisi bak mandi
dan lain sebagainya.
Padahal, beliau merupakan putera
seorang kiai yang cukup ternama di Madura yaitu KH. Abd. Latif. Putera seorang
kiai di Madura itu biasanya dipanggil dengan panggilan istimewa “lora”. Itu
berarti ketika menuntut ilmu, beliau meninggalkan predikat lora-nya dan
menggantinya dengan predikat sebagai seorang santri yang harus berkhidmat
kepada guru-gurunya. Mengapa beliau mau menjadi khadam?
Istilah khadam sangat terkenal
tradisi islam, tidak hanya dalam tradisi pesantren di Nusantara, tapi sudah
semenjak masa Rasulullah SAW. Para shahabat yang
ingin mendapat pancaran sinar ilmu dan hidayah dari Rasulullah SAW dengan cara
menjadi khadim (pelayan/abdi). Di antara shahabat yang terkenal sebagai khadim
adalah Anas bin Malik, Suwayd, Ayyays, Abu al-Hamra dan lain sebagainya. Karena
kedekatan inilah mereka menjadi rujukan periwayatan hadits. Bahkan, Anas bin
Malik termasuk rujukan utama pengetahuan islam yang bersumber dari Rasulullah
SAW (hadits) setelah Abu Hurairah dan Aisyah.
Dalam tradisi sufi, menjadi
khadim merupakan salah satu cara untuk menempa spiritualitas diri di bawah
bimbingan seorang mursyid. Tokoh sufi semacam Ma’ruf al-Karkhi, Ibrahim bin
Basyar dan lain sebagainya mendapatkan muara spiritualnya melalui cara
mengkhadam kepada gurunya. Menjadi khadam merupakan cara efektif untuk bisa
lebih dekat dengan seorang tokoh. Dengan menjadi khadam, maka ia bisa
menyaksikan secara langsung bagaimana kepribadian, kebijaksanaan, ketekunan,
dan berbagai kelebihan dari seorang tokoh.
Hal ini rupanya yang dipegang
teguh oleh Kiai Cholil, bahwa menjadi khadim merupakan salah satu cara ampuh
untuk mendapat cucuran ilmu dan bimbingan spiritual dari seorang ulama. Dalam
kisah-kisah di pesantren, banyak santri yang menjadi khadim itu ketika boyong
dari pesantren ia menjadi seorang kiai yang ternama di kampungnya.
Memang ada semacam kepercayaan
bahwa berkhidmat (mengabdi) merupakan sumber barakah. Dalam bahasa Arab,
barakah digunakan untuk arti “bertambah baik”. Dalam istilah pesantren sering
disebutkan “ilmu yang barakah”. Hal itu berarti ilmu yang tidak hanya berguna
untuk dirinya sendiri tapi berguna (diberikan) kepada orang lain. Sebagai sifat
dari kata “ilmu” biasanya kata barakah disandingkan dengan kata manfaat: ilmu
yang manfaat dan barakah. Manfaat bisa digunakan untuk menyatakan ilmu yang
berguna bagi pemiliknya (diamalkan). Sedangkan barakah adalah nilai lebihnya:
berguna bagi orang lain. Dalam Ihya’ Ulumuddin, Imam al-Ghazali menyatakan,
“Seharusnya seorang santri itu tawaddu’ terhadap gurunya serta mencari pahala
dan kemuliaan dengan mengabdi kepadanya”.
Ada kisah menarik tentang bagaimana Kiai
Cholil berkhidmat kepada gurunya Syaikh Ali Rahbini saat menuntut ilmu di
Mekkah. Menurut Rachman (1999: 13) Syaikh Ali Rahbini adalah guru terakhir Kiai
Cholil yang kebetulan seorang tuna netra. Agar mendapat kesempatan untuk
menuntun Syaikh Ali Rahbini ke tempat pengimaman masjid, Kiai Cholil rela tidur
di depan pintu masjid. Hal itu dilakukannya dengan harapan supaya gurunya itu
“menginjak dirinya” saat melewati pintu masjid.
Tawadhu’
Selain berkhidmat kepada gurunya,
beliau juga tawadhu’. Ketika menuntut ilmu di Pasuruan, Kiai Cholil tercatat
pernah nyantri kepada Kiai Arif di Pesantren Kebocandi dan kepada Kiai Asyik di
Pesantren Cangaan Bangil. Ketika nyantri di Pesantren Kebocandi ia juga mengaji
kitab-kitab besar seperti Ihya’ Ulumuddin, Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
kepada KH. Noerhasan bin Noerchotim di Pondok Pesantren Sidogiri yang masih
terhitung familinya sendiri.
Dalam perjalanan dari Kebocandi
ke Sidogiri yang berjarak sekitar 15 kilometer, waktunya banyak di isi dengan surat Yasin sampai tamat
berkali-kali. Apabila sudah memasuki pelataran Pondok Pesantren Sidogiri,
beliau melepas terompah yang sering dipakai santri biasanya terbuat dari kayu.
Di pesantren, terompah dari kayu itu disebut bakiyak atau teklek. Sampai saat
ini pun masih banyak santri yang menggunakan bakiyak atau teklek.
Dengan demikian, Kiai Cholil itu
berjalan di dalam pondok dengan bertelanjang kaki. Malah ada yang menyebutkan,
ia sudah melepas terompahnya dari Warungdowo. Kalau itu benar, dalam jarak
sekitar 5 kilometer sebelum sampai di Pondok Pesantren Sidogiri, ia
sudah melepas terompahnya. Untuk apa ia melepas terompahnya?
Tak lain merupakan perwujudan
dari sikap tawadhu’ terhadap gurunya. Meski KH. Noerhasan bin Noerchotim yang
menjadi gurunya itu masih terhitung familinya sendiri, namun Kiai Cholil
sedemikian besar penghormatannya. Boleh jadi, sikap tawadhu’ itu tidak semata
ditujukan kepada KH. Noerhasan bin Noerchotim, namun juga kepada Masyayikh
Sidogiri lainnya.
Apa yang Kiai Cholil lakukan itu
sebagian ditiru oleh para alumni santri Sidogiri. Di antaranya adalah almarhum
KH. Baihaqi Habibullah, Pengasuh Pondok Pesantren Ummul Quro, Krikilan,
Banyuwangi. Ketika hendak bersilaturrahmi dengan Pengasuh Pesantren Sidogiri, ia
akan melepas sandalnya sebelum memasuki pelataran dalem pengasuh.
Begitu juga, sebagian santri
masih ada yang mengamalkannya ketika memasuki kompleks pemakaman Masyayikh
Sidogiri yang terletak di belakang Masjid Jami’ Sidogiri. Sebelum memasuki pelataran
kompleks pemakaman, para sanri yang hendak berziarah ke makam Masyayikh
Sidogiri melepas sandal di pintu gerbang kompleks pemakaman. Bahkan di antara mereka ada yang berjalan beringsut-ringsut selepas
berziarah.
Apa
perlunya melepas sandal sebelum memasuki kompleks pemakaman? Bukankah mereka
yang ada di dalam kuburan itu sudah meninggal? Apa perlunya menghormati mereka
dengan cara seperti itu? Tunggu dulu. Sejatinya penghormatan terhadap pusara
orang-orang alim bukan saja dilakukkan oleh para santri terhadap kiainya yang
telah tiada. Lebih dari itu, Presiden Pertama
RI yaitu Ir. Soekarno pun bahkan
lebih takzim melakukannya.
Saat
menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah, Ir. Soekarno bermaksud untuk
ziarah ke makam Rasulullah SAW. Jauh sebelum memasuki kompleks pemakaman,
Presiden Soekarno bukan hanya melepas terompahnya. Lebih dari itu, Bung Karno
melepas seluruh pakaian kebesarannya. Ia berjalan ngesot menuju pusara
Rasulullah SAW laksana seorang abdi yang hendak menghadap kepada seorang saja.
“Saya
hanyalah seorang Presiden Indonesia.
Apalah artinya diriku di hadapanmu, Wahai utusan Allah. Engkau adalah pemimpin
umat manusia sedunia dan penghulu para Nabi dan Rasul,” kata Ir. Soekarno
lirih.
Begitu
lazimnya Presiden pertama RI saat berziarah ke makam Rasulullah SAW. Sikap yang
ditunjukkan oleh Sang Proklamator Kemerdekaan ini seolah-olah bukan tengah
berziarah ke makam Rasulullah SAW, namun bertemu langsung dengan Rasulullah
SAW. Laksana pertemuan yang indah antara seorang kekasih dengan kekasihnya.
Merendahkan
diri (tawaddhu’) di hadapan guru atau ahl al-ilm (ulama) merupakan salah satu
tatakrama yang harus dipegang oleh orang yang sedang menuntut ilmu. Sayyidina
Ali bin Abi Thalib ra. menyatakan: “Engkau harus hormat dan takzim kepada
orang-orang alim dengan niat yang ikhlas untuk Allah”. Seorang yang ingin
mendapatkan ilmu, ia harus merendahkan diri, sebab jika ia merasa tinggi maka
ia enggan untuk mempelajari apapun dari orang lain. “Ilmu tidak bisa didapat
kecuali dengan cara merendahkan diri”. Demikian kata Abu Hamid al-Ghazali.
Sebuah
syair Arab menyatakan, “Ilmu adalah musuh bagi pemuda yang tinggi diri /
sebagaimana banjir yang menjadi musuh bagi daratan yang tinggi”.
Jadi,
ilmu diibaratkan air. Di mana tempat yang rendah, ke situlah ia mengalir, di
mana tempat yang tinggi maka dari situ ia menjauh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar