Sabtu, 11 Mei 2013

Uswah dari Kiai Cholil Bangkalan




Siapa yang tak kenal dengan Kiai Cholil Bangkalan? Beliau dikenal luas sebagai guru besar para ulama dan para pengasuh pondok pesantren baik di Jawa maupun Madura. Karena itulah, beliau mendapat gelar “Syaichona” yang kurang lebih berarti “guru kami”.sepeninggalnya sampai saat ini belum ada ulama dari Madura yang mendapat gelar “Syaichona”. Gelar Syaichona sudah menjadi laqab atau predikat khusus buat Kiai Cholil Bangkalan. Karena itu, kalau orang Madura menyebut “Syaichona” berarti yang dimaksud adalah Kiai Cholil Bangkalan.
Selain itu, beliau dikenal juga sebagai seorang ulama yang produktif menulis risalah. Karya tulisnya baik yang sudah diterbitkan atau masih dalam bentuk tulisan tangan (manuskrip) tersebar di Madura. Dalam bidang fiqih, beliau menulis al-silah fi bayani al-nikah dan al-matnu al-syarif.  Dalam bidang tata bahasa arab, beliau menulis naskah kitab Alfiyah. Lebih tepatnya, menulis ulang 1000 bait kitab Alfiyah seraya mencantumkan penjelasan pada bagian bawah di setiap baitnya dengan menggunakan bahasa Arab pegon. Pada halaman tertentu, Kiai Cholil membuat catatan khusus di bagian kiri dari manuskripnya.
Tulisan ini mencoba memotret jauh Syaichona sebelum menjadi ulama hebat. Tepatnya ketika beliau masih menuntut ilmu atau nyantri di beberapa pesantren di Jawa Timur, bagaimanakah akhlaqnya ketika nyantri sehingga setelah boyong berhasil menjadi ulama yang begitu melegenda?

Berkhidmat kepada guru
Ketika menuntut ilmu di sebuah pesantren di Banyuangi, Kiai Cholil Bangkalan berkhidmat kepada gurunya dengan menjadi seorang khadam atau pelayan. Layaknya seorang khadam, ia membantu menangani pekerjaan rumah gurunya seperti menyapu, mencuci, mengisi bak mandi dan lain sebagainya.
Padahal, beliau merupakan putera seorang kiai yang cukup ternama di Madura yaitu KH. Abd. Latif. Putera seorang kiai di Madura itu biasanya dipanggil dengan panggilan istimewa “lora”. Itu berarti ketika menuntut ilmu, beliau meninggalkan predikat lora-nya dan menggantinya dengan predikat sebagai seorang santri yang harus berkhidmat kepada guru-gurunya. Mengapa beliau mau menjadi khadam?
Istilah khadam sangat terkenal tradisi islam, tidak hanya dalam tradisi pesantren di Nusantara, tapi sudah semenjak masa Rasulullah SAW. Para shahabat yang ingin mendapat pancaran sinar ilmu dan hidayah dari Rasulullah SAW dengan cara menjadi khadim (pelayan/abdi). Di antara shahabat yang terkenal sebagai khadim adalah Anas bin Malik, Suwayd, Ayyays, Abu al-Hamra dan lain sebagainya. Karena kedekatan inilah mereka menjadi rujukan periwayatan hadits. Bahkan, Anas bin Malik termasuk rujukan utama pengetahuan islam yang bersumber dari Rasulullah SAW (hadits) setelah Abu Hurairah dan Aisyah.
Dalam tradisi sufi, menjadi khadim merupakan salah satu cara untuk menempa spiritualitas diri di bawah bimbingan seorang mursyid. Tokoh sufi semacam Ma’ruf al-Karkhi, Ibrahim bin Basyar dan lain sebagainya mendapatkan muara spiritualnya melalui cara mengkhadam kepada gurunya. Menjadi khadam merupakan cara efektif untuk bisa lebih dekat dengan seorang tokoh. Dengan menjadi khadam, maka ia bisa menyaksikan secara langsung bagaimana kepribadian, kebijaksanaan, ketekunan, dan berbagai kelebihan dari seorang tokoh.
Hal ini rupanya yang dipegang teguh oleh Kiai Cholil, bahwa menjadi khadim merupakan salah satu cara ampuh untuk mendapat cucuran ilmu dan bimbingan spiritual dari seorang ulama. Dalam kisah-kisah di pesantren, banyak santri yang menjadi khadim itu ketika boyong dari pesantren ia menjadi seorang kiai yang ternama di kampungnya.
Memang ada semacam kepercayaan bahwa berkhidmat (mengabdi) merupakan sumber barakah. Dalam bahasa Arab, barakah digunakan untuk arti “bertambah baik”. Dalam istilah pesantren sering disebutkan “ilmu yang barakah”. Hal itu berarti ilmu yang tidak hanya berguna untuk dirinya sendiri tapi berguna (diberikan) kepada orang lain. Sebagai sifat dari kata “ilmu” biasanya kata barakah disandingkan dengan kata manfaat: ilmu yang manfaat dan barakah. Manfaat bisa digunakan untuk menyatakan ilmu yang berguna bagi pemiliknya (diamalkan). Sedangkan barakah adalah nilai lebihnya: berguna bagi orang lain. Dalam Ihya’ Ulumuddin, Imam al-Ghazali menyatakan, “Seharusnya seorang santri itu tawaddu’ terhadap gurunya serta mencari pahala dan kemuliaan dengan mengabdi kepadanya”.
Ada kisah menarik tentang bagaimana Kiai Cholil berkhidmat kepada gurunya Syaikh Ali Rahbini saat menuntut ilmu di Mekkah. Menurut Rachman (1999: 13) Syaikh Ali Rahbini adalah guru terakhir Kiai Cholil yang kebetulan seorang tuna netra. Agar mendapat kesempatan untuk menuntun Syaikh Ali Rahbini ke tempat pengimaman masjid, Kiai Cholil rela tidur di depan pintu masjid. Hal itu dilakukannya dengan harapan supaya gurunya itu “menginjak dirinya” saat melewati pintu masjid.

Tawadhu’
Selain berkhidmat kepada gurunya, beliau juga tawadhu’. Ketika menuntut ilmu di Pasuruan, Kiai Cholil tercatat pernah nyantri kepada Kiai Arif di Pesantren Kebocandi dan kepada Kiai Asyik di Pesantren Cangaan Bangil. Ketika nyantri di Pesantren Kebocandi ia juga mengaji kitab-kitab besar seperti Ihya’ Ulumuddin, Shahih Bukhari dan Shahih Muslim kepada KH. Noerhasan bin Noerchotim di Pondok Pesantren Sidogiri yang masih terhitung familinya sendiri.
Dalam perjalanan dari Kebocandi ke Sidogiri yang berjarak sekitar 15 kilometer, waktunya banyak di isi dengan surat Yasin sampai tamat berkali-kali. Apabila sudah memasuki pelataran Pondok Pesantren Sidogiri, beliau melepas terompah yang sering dipakai santri biasanya terbuat dari kayu. Di pesantren, terompah dari kayu itu disebut bakiyak atau teklek. Sampai saat ini pun masih banyak santri yang menggunakan bakiyak atau teklek.
Dengan demikian, Kiai Cholil itu berjalan di dalam pondok dengan bertelanjang kaki. Malah ada yang menyebutkan, ia sudah melepas terompahnya dari Warungdowo. Kalau itu benar, dalam jarak sekitar 5 kilometer sebelum sampai di Pondok Pesantren Sidogiri, ia sudah melepas terompahnya. Untuk apa ia melepas terompahnya?
Tak lain merupakan perwujudan dari sikap tawadhu’ terhadap gurunya. Meski KH. Noerhasan bin Noerchotim yang menjadi gurunya itu masih terhitung familinya sendiri, namun Kiai Cholil sedemikian besar penghormatannya. Boleh jadi, sikap tawadhu’ itu tidak semata ditujukan kepada KH. Noerhasan bin Noerchotim, namun juga kepada Masyayikh Sidogiri lainnya.
Apa yang Kiai Cholil lakukan itu sebagian ditiru oleh para alumni santri Sidogiri. Di antaranya adalah almarhum KH. Baihaqi Habibullah, Pengasuh Pondok Pesantren Ummul Quro, Krikilan, Banyuwangi. Ketika hendak bersilaturrahmi dengan Pengasuh Pesantren Sidogiri, ia akan melepas sandalnya sebelum memasuki pelataran dalem pengasuh.
Begitu juga, sebagian santri masih ada yang mengamalkannya ketika memasuki kompleks pemakaman Masyayikh Sidogiri yang terletak di belakang Masjid Jami’ Sidogiri. Sebelum memasuki pelataran kompleks pemakaman, para sanri yang hendak berziarah ke makam Masyayikh Sidogiri melepas sandal di pintu gerbang kompleks pemakaman. Bahkan di antara mereka ada yang berjalan beringsut-ringsut selepas berziarah.
Apa perlunya melepas sandal sebelum memasuki kompleks pemakaman? Bukankah mereka yang ada di dalam kuburan itu sudah meninggal? Apa perlunya menghormati mereka dengan cara seperti itu? Tunggu dulu. Sejatinya penghormatan terhadap pusara orang-orang alim bukan saja dilakukkan oleh para santri terhadap kiainya yang telah tiada. Lebih dari itu, Presiden Pertama RI yaitu Ir. Soekarno pun bahkan lebih takzim melakukannya.
Saat menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah, Ir. Soekarno bermaksud untuk ziarah ke makam Rasulullah SAW. Jauh sebelum memasuki kompleks pemakaman, Presiden Soekarno bukan hanya melepas terompahnya. Lebih dari itu, Bung Karno melepas seluruh pakaian kebesarannya. Ia berjalan ngesot menuju pusara Rasulullah SAW laksana seorang abdi yang hendak menghadap kepada seorang saja.
“Saya hanyalah seorang Presiden Indonesia. Apalah artinya diriku di hadapanmu, Wahai utusan Allah. Engkau adalah pemimpin umat manusia sedunia dan penghulu para Nabi dan Rasul,” kata Ir. Soekarno lirih.
Begitu lazimnya Presiden pertama RI saat berziarah ke makam Rasulullah SAW. Sikap yang ditunjukkan oleh Sang Proklamator Kemerdekaan ini seolah-olah bukan tengah berziarah ke makam Rasulullah SAW, namun bertemu langsung dengan Rasulullah SAW. Laksana pertemuan yang indah antara seorang kekasih dengan kekasihnya.
Merendahkan diri (tawaddhu’) di hadapan guru atau ahl al-ilm (ulama) merupakan salah satu tatakrama yang harus dipegang oleh orang yang sedang menuntut ilmu. Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. menyatakan: “Engkau harus hormat dan takzim kepada orang-orang alim dengan niat yang ikhlas untuk Allah”. Seorang yang ingin mendapatkan ilmu, ia harus merendahkan diri, sebab jika ia merasa tinggi maka ia enggan untuk mempelajari apapun dari orang lain. “Ilmu tidak bisa didapat kecuali dengan cara merendahkan diri”. Demikian kata Abu Hamid al-Ghazali.
Sebuah syair Arab menyatakan, “Ilmu adalah musuh bagi pemuda yang tinggi diri / sebagaimana banjir yang menjadi musuh bagi daratan yang tinggi”.
Jadi, ilmu diibaratkan air. Di mana tempat yang rendah, ke situlah ia mengalir, di mana tempat yang tinggi maka dari situ ia menjauh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar